Alkisah,
di sebuah dusun di Negeri Jambi, ada sepasang suami-istri yang miskin. Mereka
sudah puluhan tahun membina rumah tangga, namun belum dikaruniai anak. Segala
usaha telah mereka lakukan untuk mewujudkan keinginan mereka, namun belum juga
membuahkan hasil. Sepasang suami-istri itu benar-benar dilanda putus asa. Suatu
ketika, dalam keadaan putus asa mereka berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
“Ya
Tuhan Yang Maha Tahu segala yang ada di dalam hati manusia. Telah lama kami
menikah, tetapi belum juga mendapatkan seorang anak. Karuniankanlah kepada kami
seorang anak! Walaupun hanya sebesar kelingking, kami akan rela menerimanya,”
pinta sepasang suami-istri itu.
Beberapa
bulan kemudian, sang Istri mengandung. Mulanya sang Suami tidak percaya akan
hal itu, karena tidak ada tanda-tanda kehamilan pada istrinya. Di samping
karena umur istrinya sudah tua, perut istrinya pun tidak terlihat ada
perubahan. Meski demikian, sebagai seorang wanita, sang Istri benar-benar yakin
jika dirinya sedang hamil. Ia merasakan ada sesuatu yang bergerak-gerak di
dalam perutnya. Ia pun berusaha meyakinkan suaminya dengan mengingatkan kembali
pada doa yang telah diucapkan dulu.
“Apakah
Abang lupa pada doa Abang dulu. Bukankah Abang pernah memohon kepada Tuhan Yang
Maha kuasa agar diberikan seorang anak walaupun sebesar kelingking?” tanya sang
Istri mengingatkan.
Mendengar
pertanyaan itu, sang Suami pun termenung dan mengingat-ingat kembali doa yang
pernah dia ucapkan dulu.
“O
iya, kamu benar, istriku! Sekarang Abang percaya bahwa kamu memang benar-benar
hamil. Pantas saja perutmu tidak kelihatan membesar, karena bayi di dalam rahim
mu hanya sebesar kelingking,” kata sang Suami sambil mengelus-elus perut
istrinya.
Waktu
terus berjalan. Tak terasa usia kandungan istrinya telah genap sembilan bulan.
Pada suatu malam, sang Istri benar-benar melahirkan seorang bayi laki-laki
sebesar kelingking. Betapa bahagianya sepasang suami-istri itu, karena telah
memperoleh seorang anak yang sudah lama mereka idam-idamkan. Mereka pun
memberinya nama Kelingking. Mereka mengasuhnya dengan penuh kasih sayang hingga
menjadi dewasa. Hanya saja, tubuhnya masih sebesar kelingking.
Pada
suatu hari, Negeri Jambi didatangi Nenek Gergasi. Ia adalah hantu pemakan
manusia dan apa saja yang hidup. Kedatangan Nenek Gergasi itu membuat penduduk
Negeri Jambi menjadi resah, termasuk keluarga Kelingking. Tak seorang pun warga
yang berani pergi ke ladang mencari nafkah. Melihat keadaan itu, Raja Negeri
Jambi pun segera memerintahkan seluruh warganya untuk mengungsi.
“Anakku!
Ayo bersiap-siaplah! Kita harus pindah dari tempat ini untuk mencari tempat
lain yang lebih aman,” ajak ayah Kelingking.
Mendengar
ajakan ayahnya itu, Kelingking terdiam dan termenung sejenak. Ia berpikir
mencari cara untuk mengusir Nenek Gergasi itu. Setelah menemukan caranya,
Kelingking pun berkata kepada ayahnya, “Tidak, Ayah! Aku tidak mau pergi
mengungsi.”
“Apakah
kamu tidak takut ditelan oleh Nenek Gergasi itu?” tanya ayahnya.
“Ayah
dan Emak jangan khawatir. Aku akan mengusir Nenek Gergasi itu dari negeri ini,”
jawab si Kelingking.
“Bagaimana
cara kamu mengusirnya, sedangkan tubuhmu kecil begitu?” tanya emaknya.
“Justru
karena itulah, aku bisa mengusirnya,” jawab si Kelingking.
“Apa
maksudmu, Anakku?” tanya emaknya bingung.
“Begini
Ayah, Emak. Tubuhku ini hanya sebesar kelingking. Jadi, aku mudah bersembunyi
dan tidak akan terlihat oleh hantu itu. Aku mohon kepada Ayah agar membuatkan
aku lubang untuk tempat bersembunyi. Dari dalam lubang itu, aku akan
menakut-nakuti hantu itu. Jika hantu itu telah mati, akan aku beritakan kepada
Ayah dan Emak serta semua penduduk,” kata Kelingking.
Sang
Ayah pun memenuhi permintaan Kelingking. Ia membuat sebuah lubang kecil di
dekat tiang rumah paling depan. Setelah itu, ayah dan emak Kelingking pun
berangkat mengungsi bersama warga lainnya. Maka tinggallah sendiri si
Kelingking di dusun itu. Ia pun segera masuk ke dalam lubang untuk bersembunyi.
Ketika
hari menjelang sore, Nenek Gergasi pun datang hendak memakan manusia. Alangkah
marahnya ketika Ia melihat kampung itu sangat sepi. Rumah-rumah penduduk tampak
kosong. Begitu pula dengan kandang-kandang ternak.
“Hai,
manusia, kambing, kerbau, dan ayam, di mana kalian? Aku datang ingin menelan
kalian semua. Aku sudah lapar!” seru Nenek Gergasi dengan geram.
Kelingking
yang mendengar teriakan itu pun menyahut dari dalam lubang.
“Aku
di sini, Nenek Tua.”
Nenek
Gergasi sangat heran mendengar suara manusia, tapi tidak kelihatan manusia yang
berbicara tersebut. Ia pun mencoba berteriak memanggil manusia. Betapa
terkejutnya Ia ketika teriakannya dijawab oleh sebuah suara yang lebih keras
lagi. Hantu itu pun mulai ketakutan. Ia mengira ada manusia yang sangat sakti
di kampung itu. Beberapa saat kemudian, si Kelingking menggertaknya dari dalam
lubang persembunyiannya.
“Kemarilah
Nenek Geragasi. Aku juga lapar. Dagingmu pasti enak dan lezat!”
Mendengar
suara gertakan itu, Nenek Gergasi langsung lari tunggang langgang dan
terjerumus ke dalam jurang dan mati seketika. Si Kelingking pun segera keluar
dari dalam lubang tempat persembunyian nya. Dengan perasaan lega, Ia pun segera
menyampaikan berita gembira itu kepada kedua orang tuanya dan para warga,
kemudian mengajak mereka kembali ke perkampungan untuk melaksanakan keseharian
seperti biasanya. Mereka pun sangat kagum pada kesaktian Kelingking.
Berita
tentang keberhasilan Kelingking mengusir Nenek Gergasi itu sampai ke telinga
Raja. Kelingking pun dipanggil untuk segera menghadap sang Raja. Kelingking
ditemani oleh ayah dan ibunya.
“Hai,
Kelingking! Benarkah kamu yang telah mengusir Nenek Gergasi itu?” tanya sang
Raja.
“Benar,
Tuanku! Untuk apa hamba berbohong,” jawab si Kelingking sambil memberi hormat.
“Baiklah,
Kelingking. Aku percaya pada omonganmu. Tapi, ingat! Jika hantu pemakan manusia
itu datang lagi, maka tahu sendiri akibatnya. Kamu akan kujadikan makanan tikus
putih peliharaan putriku,” acam sang Raja.
“Ampun,
Tuanku! Jika hamba terbukti berbohong, hamba siap menerima hukuman itu. Tapi,
kalau hamba terbukti tidak berbohong, Tuanku berkenan mengangkat hamba menjadi
Panglima di istana ini,” pinta Kelingking.
Walaupun
permintaan Kelingking itu sangatlah berat, sang Raja menyanggupinya dengan
pertimbangan bahwa mengusir hantu Nenek Gergasi tidaklah mudah.
Setelah
itu, Kelingking bersama kedua orang tuanya memohon diri untuk kembali ke
rumahnya. Dalam perjalanan pulang, ayah dan emaknya selalui dihantui rasa cemas
dan takut kalau-kalau Nenek Gergasi kembali lagi. Hal itu berarti nyawa anaknya
akan terancam. Sesampainya di rumah, mereka pun meminta kepada Kelingking agar
menceritakan bagaimana Ia berhasil mengusir hantu itu. Kelingking pun
menceritakan semua peristiwa itu dari awal kedatangan hantu itu hingga lari
tunggang langgang.
“Apakah
kamu yakin Nenek Gergasi tidak akan kembali lagi ke sini?” tanya ayahnya.
Mendengar
pertanyaan itu, Kelingking terdiam. Hatinya tiba-tiba dihinggapi rasa ragu.
Jangan-jangan hantu itu kembali lagi. Rupanya, si Kelingking tidak mengetahui
bahwa Nenek Gergasi itu telah mati karena terjerumus ke dalam jurang.
Seminggu
telah berlalu, Nenek Gergasi tidak pernah muncul lagi. Namun, hal itu belum
membuat hati Kelingking tenang. Suatu hari, ketika pulang dari ladang bersama
ayahnya, ia menemukan mayat Nenek Gergasi di jurang. Maka yakinlah ia bahwa
Nenek Gergasi telah mati dan tidak akan lagi mengganggu penduduk Negeri Jambi.
Keesokan
harinya, Kelingking bersama kedua orang tuanya segera menghadap raja untuk
membuktikan bahwa ia benar-benar tidak berbohong. Dengan kesaksian kedua
orangtuanya, sang Raja pun percaya dan memenuhi janjinya, yakni mengangkat
Kelingking menjadi Panglima.
Setelah
beberapa bulan menjadi Panglima, Kelingking merasa perlu seorang pendamping
hidup. Ia pun menyampaikan keinginannya itu kepada kedua orang tuanya.
“Ayah,
Emak! Kini aku sudah dewasa. Aku menginginkan seorang istri. Maukah Ayah dan
Emak pergi melamar putri Raja yang cantik itu untukku?” pinta Kelingking.
Alangkah
terkejutnya kedua orang tuanya mendengar permintaan Kelingking itu.
“Ah,
kamu ini ada-ada saja Kelingking! Tidak mungkin Baginda Raja mau menerima
lamaranmu. Awak kecil, selera gedang (besar),” sindir ayahnya.
“Tapi,
kita belum mencobanya, Ayah! Siapa tahu sang Putri mau menerima lamaranku,”
kata Kelingking.
Mulanya
kedua orangtuanya enggan memenuhi permintaan Kelingking. Tapi, setelah didesak,
akhirnya mereka pun terpaksa menghadap dan siap menerima caci maki dari Raja.
Ternyata benar, ketika menghadap, mereka mendapat cacian dari Raja.
“Dasar
anakmu si Kelingking itu tidak tahu diuntung! Dikasih sejengkal, minta sedepa.
Sudah diangkat menjadi Panglima, minta nikah pula!” bentak sang Raja.
Mendengar
bentakan itu, kedua orangtua Kelingking tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka pun
pulang tanpa membawa hasil. Mendengar berita itu, Kelingking tidak berputus
asa. Ia meminta agar mereka kembali lagi menghadap Raja, namun hasilnya pun
tetap nihil. Akhirnya, Kelingking memutuskan pergi menghadap bersama ibunya.
Sesampainya di istana, mereka tetap disambut oleh keluarga istana. Sang Putri
pun hadir dalam pertemuan itu. Kelingking menyampaikan langsung lamarannya
kepada Raja.
“Ampun,
Tuanku! Izinkanlah hamba menikahi putri Tuanku,” pinta Kelingking kepada sang
Raja.
Mengetahui
bahwa ayahanda nya pasti akan marah kepada Kelingking, sang Putri pun
mendahului ayahnya berbicara.
“Ampun,
Ayahanda! Perkenankanlah Ananda menerima lamaran si Kelingking. Ananda bersedia
menerima Kelingking apa adanya,” sahut sang Putri.
“Nanti
engkau menyesal, Putriku. Masih banyak pemuda sempurna dan gagah di negeri ini.
Apa yang kamu harapkan dari pemuda sekecil Kelingking itu,” ujar sang Raja.
“Ampun,
Ayahanda! Memang banyak pemuda gagah di negeri ini, tapi apa jasanya kepada
kerajaan? Sementara si Kelingking, meskipun tubuhnya kecil, tapi ia telah
berjasa mengusir dan membunuh hantu Nenek Gergasi,” tandas sang Putri.
Mendengar
pernyataan putrinya, sang Raja tidak berkutik. Ia baru menyadari bahwa ternyata
si Kelingking telah berjasa kepada kerajaan dan seluruh penduduk di negeri itu.
Akhirnya, sang Raja pun menerima lamaran si Kelingking.
Seminggu
kemudian. Pesta pernikahan Kelingking dengan sang Putri dilangsungkan selama
tujuh hari tujuh malam dengan dimeriahkan oleh berbagai pertunjukan seni dan
tari. Tamu undangan berdatangan dari berbagai penjuru Negeri.
Dari
kejauhan, tampak hanya sang Putri yang duduk sendirian di pelaminan. Si
Kelingking tidak kelihatan karena tubuhnya terlalu kecil. Di antara tamu
undangan, ada yang berbisik-bisik membicarakan tentang kedua mempelai tersebut.
“Kenapa
sang Putri mau menikah dengan si Kelingking? Bagaimana Ia bisa mendapatkan
keturunan, sementara suaminya hanya sebesar kelingking?” tanya seorang tamu
undangan.
“Entahlah!
Tapi, yang jelas, sang Putri menikah dengan si Kelingking bukan karena ingin
mendapatkan keturunan, tapi ia ingin membalas jasa kepada si Kelingking,” jawab
seorang tamu undangan lainnya.
Usai
pesta pernikahan putrinya, sang Raja memberikan sebagian wilayah kekuasaannya,
pasukan pengawal, dan tenaga kerja kepada si Kelingking untuk membangun
kerajaan sendiri. Setelah istananya jadi, Kelingking bersama istrinya memimpin
kerajaan kecil itu. Meski hidup dalam kemewahan, istri Kelingking tetap
menderita batin, karena si Kelingking tidak pernah mengurus kerajaan dan sering
pergi secara diam-diam tanpa memberitahukan istrinya. Namun, anehnya, setiap
Kelingking pergi, tidak lama kemudian seorang pemuda gagah menunggang kuda
putih datang ke kediaman istrinya.
“Ke
mana suamimu si Kelingking?” tanya pemuda gagah itu.
“Suamiku
sedang bepergian. Kamu siapa hai orang muda?” tanya sang Putri.
“Maaf,
bolehkah saya masuk ke dalam?” pinta pemuda itu.
“Jangan,
orang muda! Tidak baik menurut adat,” cegat sang Putri.
Pemuda
itu pun tidak mau memaksakan kehendaknya. Dia pun berpamitan dan pergi entah ke
mana. Melihat gelagat aneh pemuda itu, sang Putri pun mulai curiga. Pada malam
berikutnya, ia berpura-pura tidur. Si Kelingking yang mengira istrinya sudah
tidur pulas pergi secara diam-diam. Namun, ia tidak menyadari jika ternyata
istrinya membututinya dari belakang.
Sesampainya
di tepi sungai, si Kelingking pun langsung membuka pakaian dan
menyembunyikannya di balik semak-semak. Kemudian ia masuk berendam ke dalam
sungai seraya berdoa kepada Tuhan Yang Maha kuasa. Sebentar setelah membaca
doa, tiba-tiba seorang pemuda gagah berkuda putih muncul dari dalam sungai.
Alangkah, terkejutnya sang Putri menyaksikan peristiwa itu.
“Hai,
bukankah pemuda itu yang sering datang menemuiku?” gumam sang Putri.
Menyaksikan
peristiwa itu, sadarlah sang Putri bahwa pemuda gagah itu adalah suaminya, si
Kelingking. Dengan cepat, Ia pun segera mengambil pakaian si Kelingking lalu
membawanya pulang dan segera membakarnya. Tidak berapa lama setelah sang Putri
berada di rumah, pemuda berkuda itu datang lagi menemuinya lalu berpamitan
seperti biasanya. Namun, ketika sang Putri akan masuk ke dalam rumah, tiba-tiba
pemuda gagah itu kembali lagi menemuinya.
“Maafkan
Kanda, Istriku! Percayalah pada Kanda, Dinda! Kanda ini adalah si Kelingking.
Kanda sudah tidak bisa lagi menjadi si Kelingking. Pakaian Kanda hilang di
semak-semak. Selama ini Kanda hanya ingin menguji kesetiaan Dinda kepada Kanda.
Ternyata, Dinda adalah istri yang setia kepada suami. Izinkanlah Kanda masuk,
Dinda!” pinta pemuda gagah itu.
Dengan
perasaan senang dan gembira, sang Putri pun mempersilahkan pemuda itu masuk ke
dalam rumah, karena ia tahu bahwa pemuda gagah itu adalah suaminya, si
Kelingking. Setelah itu, sang Putri pun bercerita kepada suaminya.
“Maafkan
Dinda, Kanda! Dindalah yang mengambil pakaian Kanda di semak-semak dan sudah
Kanda bakar. Dinda bermaksud melakukan semua ini karena Dinda ingin melihat
Kanda seperti ini, gagah dan tampan,” kata sang Putri.
Kelingking pun merasa senang melihat istrinya bahagia karena mempunyai suami yang gagah dan tampan. Akhirnya, mereka pun hidup bahagia. Si Kelingking memimpin negerinya dengan arif dan bijaksana, dan rakyatnya hidup damai dan sejahtera.
Salah
satu pelajaran moral yang dapat dipetik dari cerita di atas bahwa bentuk dan
ukuran tubuh seseorang tidak dapat dijadikan pedoman rendah atau luhurnya
kepribadian seseorang. Hal ini tampak pada diri si Kelingking, meskipun ukuran tubuhnya
kecil, tapi ia telah berjasa kepada rakyat dan negerinya, karena telah mengusir
Nenek Gergasi.
Penulis : Aulia Wahyu Ranti
Redaktur : Ari Rahmad Nawawi
Referensi :
http://folktalesnusantara.blogspot.com/2009/02/si-kelingking.html?m=1
http://ceritarakyatnusantara.com/id/folklore/35-Kelingking-Sakti
KOMENTAR