Alkisah pada zaman dahulu kala, di tepi hutan di daerah Kalimantan
Tengah hiduplah sepasang suami istri yang hidup serba berkekurangan. Meskipun
miskin, tapi mereka benar-benar saling menyayangi dan selalu dilimpahi kebahagiaan.
Hanya saja, ada satu hal yang membuat mereka sedih. Setelah sepuluh
tahun menjalin rumah tangga, mereka masih juga belum dikaruniai buah hati.
Setiap hari mereka merindukan kehadiran anak untuk melengkapi kebahagiaan
keluarga kecil mereka. Setiap malam mereka berdoa memohon kepada Yang Maha
Kuasa agar impian mereka bisa menjadi kenyataan. Tak hanya itu, mereka pun juga
melakukan puasa setiap hari dengan harapan bisa mempercepat terkabulnya harapan
itu.
Pada suatu malam, usai memanjatkan doa, sepasang suami istri pergi
beristirahat. Malam itu, sang Istri bermimpi didatangi oleh seorang lelaki tua.
“Jika kalian menginginkan seorang keturunan, kalian harus rela
pergi ke hutan untuk bertapa,” ujar lelaki tua dalam mimpinya itu.
Baru saja sang Istri akan menanyakan sesuatu, lelaki tua itu keburu
hilang dari dalam mimpinya. Keesokan harinya, sang Istri pun menceritakan
perihal mimpinya tersebut kepada suaminya.
“Bang! Benarkah yang dikatakan kakek itu?” tanya sang Istri.
“Entahlah, Dik! Tapi, barangkali ini merupakan petunjuk untuk kita
mendapatkan keturunan,” jawab sang Suami.
‘‘Lalu, apa yang harus kita lakukan, Bang! Apakah kita harus
melaksanakan petunjuk kakek itu?” sang Istri kembali bertanya.
“Iya, Istriku! Kita harus mencoba segala macam usaha. Siapa tahu
apa yang dikatakan kakek itu benar,” jawab suaminya.
Keesokan harinya, usai menyiapkan bekal seadanya, sepasang
suami-istri itu pun pergi ke sebuah hutan yang letaknya cukup jauh. Setelah
setengah hari berjalan, sampailah mereka di sebuah hutan yang sangat lebat dan
sunyi. Mereka pun membangun sebuah gubuk kecil untuk tempat bertapa.
Ketika hari mulai gelap, sepasang suami-istri itu pun memulai
pertapaan mereka. Keduanya duduk bersila sambil memejamkan mata dan memusatkan
konsentrasi kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Sudah berminggu-minggu mereka
bertapa, namun belum juga memperoleh tanda-tanda maupun petunjuk. Meskipun
harus menahan rasa lapar, haus dan kantuk, mereka tetap melanjutkan pertapaan
hingga berbulan-bulan lamanya. Sampai pada hari kesembilan puluh sembilan pun
mereka belum mendapatkan petunjuk. Rupanya, Tuhan Yang Maha Kuasa sedang
menguji kesabaran mereka.
Pada hari ke-seratus, kedua suami-istri itu benar-benar sudah tidak
tahan lagi menahan rasa lapar, haus dan kantuk. Maka pada saat itulah, seorang
lelaki tua menghampiri dan berdiri di belakang mereka.
“Hentikanlah pertapaan kalian! Kalian telah lulus ujian. Tunggulah
saatnya, kalian akan mendapatkan apa yang kalian inginkan!” ujar kakek itu.
Mendengar seruan itu, sepasang suami-istri itu pun segera menghentikan
pertapaan mereka. Alangkah terkejutnya mereka saat membuka mata dan menoleh ke
belakang. Mereka sudah tidak melihat lagi kakek yang berseru itu. Akhirnya
mereka pun memutuskan pulang ke rumah dengan berharap usaha mereka akan
membuahkan hasil sesuai dengan yang diinginkan.Sesampainya di rumah,
suami-istri itu kembali melakukan pekerjaan sehari-hari mereka sambil menanti
karunia dari Tuhan. Setelah melalui hari-hari penantian, akhirnya mereka pun
mendapatkan sebuah tanda-tanda akan kehadiran si buah hati dalam keluarga
mereka. Suatu sore, sang Istri merasa seluruh badannya tidak enak.
“Bang! Kenapa pinggangku terasa pegal-pegal dan perutku mual-mual?”
tanya sang Istri mengeluh.
“Wah, itu pertanda baik, Istriku! Itu adalah tanda-tanda Adik
hamil,” jawab sang Suami dengan wajah berseri-seri.
“Benarkah itu, Bang?” tanya sang Istri yang tidak mengerti hal itu,
karena baru kali ini ia mengalami masa kehamilan.
“Benar, Istriku!” jawab sang Suami.
Sejak saat itu, sang Istri selalu ingin makan buah-buahan yang
kecut dan makanan yang pedas-pedas. Melihat keadaan istrinya itu, maka semakin
yakinlah sang Suami bahwa istrinya benar-benar sedang hamil.
“Oh, Tuhan terima kasih!” ucap sang Suami.
Usai mengucapkan syukur, sang Suami mendekati istrinya dan mengusap-usap
perut sang Istri.
“Istriku! Tidak lama lagi kita akan memiliki anak. Jagalah
baik-baik bayi yang ada di dalam perutmu ini!” ujar sang Suami.
Waktu terus berjalan. Usia kandungan sang Istri genap sembilan
bulan, pada suatu malam sang Istri pun melahirkan seorang anak laki-laki yang
kemudian diberi nama Kumbang Banaung. Alangkah senang dan bahagianya sepasang
suami-istri itu, karena anak yang selama ini mereka idam-idamkan telah mereka
dapatkan. Mereka pun merawat dan membesarkan Kumbang Banaung dengan penuh kasih
sayang.
Ketika putranya mulai beranjak besar, setiap hari mereka juga
memberikan nasihat dan petuah agar Kumbang Banaung tumbuh menjadi anak yang
berbakti pada kedua orang tuanya dan berlaku santun serta bertutur sopan pada
siapa pun.Tak hanya itu, sang ayah juga mengajarinya berburu menggunakan sumpit
agar bisa bertahan hidup di tepi hutan.Seiring dengan berjalannya waktu,
Kumbang Banaung kini tumbuh menjadi seorang pemuda yang tampan dan rupawan.
Sayangnya, harapan kedua orang tuanya agar ia tumbuh menjadi anak yang berbakti
rupanya tak terwujud.Kumbang Banaung justru tumbuh menjadi anak yang
berperilaku buruk dan tak pernah mengindahkan seluruh petuah dan nasihat yang
sering diberikan oleh kedua orang tuanya.
wahai
anak dengarlah petuah,
kini
dirimu lah besar panjang
umpama
burung lah dapat terbang
umpama
kayu sudah berbatang
umpama
ulat lah mengenal daun
umpama
serai sudah berumpun
banyak
amat belum kau dapat
banyak
penganyar belum kau dengar
banyak
petunjuk belum kau sauk
banyak
kaji belum terisi
maka
sebelum engkau melangkah
terimalah
petuah dengan amanah
supaya
tidak tersalah langkah
supaya
tidak terlanjur lidah
pakai
olehmu adat merantau
di
mana bumi dipijak,
di
sana langit dijunjung
di
mana air disauk
di
sana ranting dipatah
di
mana badan berlabuh,
di
sana adat dipatuh
apalah
adat orang menumpang:
berkata
jangan sebarang-barang
berbuat
jangan main belakang
adat
istiadat lembaga dituang
dalam
bergaul tenggang menenggang
Pada suatu hari, sang Ayah sedang sakit keras. Kumbang Banaung memaksa
ayahnya untuk menemaninya pergi berburu ke hutan.
“Maafkan Ayah, Anakku! Ayah tidak bisa menemanimu. Bukankah kamu
tahu sendiri kalau Ayah sekarang sedang sakit,” kata sang Ayah dengan suara
pelan.
“Benar, Anakku! Kalau pergi berburu, berangkat lah sendiri. Biar
Ibu menyiapkan segala keperluanmu,” sahut sang Ibu.
“O iya, Anakku! Ini ada senjata pusaka untukmu. Namanya piring
malawan. Piring pusaka ini dapat digunakan untuk keperluan apa saja,” kata sang
Ayah sambil memberikan sebuah piring kecil kepada Kumbang Banaung.
Kumbang Banaung pun mengambil piring pusaka itu dan menyelipkan di
pinggangnya. Setelah menyiapkan segala keperluannya, berangkatlah ia ke hutan
seorang diri. Sesampainya di hutan, ia pun memulai perburuannya. Namun, hingga
hari menjelang siang, ia belum juga mendapatkan seekor pun binatang buruan. Ia
tidak ingin pulang ke rumah tanpa membawa hasil. Akhirnya, ia pun memutuskan
untuk melanjutkan perburuannya dengan menyusuri hutan tersebut. Tanpa
disadarinya, ia telah berjalan jauh masuk ke dalam hutan dan tersesat di
dalamnya.
Ketika mencari jalan keluar dari hutan, ternyata Kumbang Banaung
sampai di sebuah desa bernama Sanggu. Desa itu tampak sangat ramai dan menarik
perhatian Kumbang Banaung. Rupanya, di desa tersebut sedang diadakan upacara
adat yang diselenggarakan oleh Kepala Desa untuk mengantarkan masa pingitan
anak gadisnya yang bernama Intan menuju masa dewasa. Upacara adat itu
diramaikan oleh pagelaran tari. Saat ia sedang asyik menyaksikan para gadis
menari, tiba-tiba matanya tertuju kepada wajah seorang gadis yang duduk di atas
kursi di atas panggung. Gadis itu tidak lain adalah Intan, putri Kepala Desa
Sanggu. Mata Kumbang Banaung tidak berkedip sedikit pun melihat kecantikan
wajah si Intan.
“Wow, cantik sekali gadis itu,” kata Kumbang Banaung dalam hati
penuh takjub.
Tidak terasa, hari sudah hampir sore, Kumbang Banaung pulang. Ia
berusaha mengingat-ingat jalan yang telah dilaluinya menuju ke rumahnya.
Setelah berjalan menyusuri jalan di hutan itu, sampailah ia di rumah.
“Kamu dari mana, Anakku? Kenapa baru pulang?” tanya Ibunya yang
cemas menunggu kedatangannya.
Kumbang Banaung pun bercerita bahwa ia sedang tersesat di tengah
hutan. Namun, ia tidak menceritakan kepada orangtuanya perihal kedatangannya ke
Desa Sanggu dan bertemu dengan gadis-gadis cantik. Pada malam harinya, Kumbang
Banaung tidak bisa memejamkan matanya, karena teringat terus pada wajah Intan.
Keesokan harinya, Kumbang Banaung berpamitan kepada kedua
orangtuanya ingin berburu ke hutan. Namun, secara diam-diam, ia kembali lagi ke
Desa Sanggu ingin menemui si Intan. Setelah berkenalan dan mengetahui bahwa
Intan adalah gadis cantik yang ramah dan sopan, maka ia pun jatuh hati
kepadanya. Begitu pula si Intan, ia pun tertarik dan suka kepada Kumbang
Banaung. Namun, keduanya masih menyimpan perasaan itu di dalam hati
masing-masing.
Sejak saat itu, Kumbang Banaung sering pergi ke Desa Sanggu untuk
menemui Intan. Namun tanpa disadari, gerak-geriknya diawasi dan menjadi
pembicaraan penduduk setempat. Menurut mereka, perilaku Kumbang Banaung dan
Intan telah melanggar adat di desa itu. Sebagai anak Kepala Desa, Intan seharusnya
memberi contoh yang baik kepada gadis-gadis sebayanya. Oleh karena tidak ingin
putrinya menjadi bahan pembicaraan masyarakat, ayah Intan pun menjodohkan Intan
dengan seorang juragan rotan di desa itu.
Pada suatu hari, Kumbang Banaung mengungkapkan perasaannya kepada
Intan.
“Intan, maukah Engkau menjadi kekasih, Abang?” tanya Kumbang
Banaung.
Mendengar pertanyaan itu, Intan terdiam. Hatinya sedang diselimuti
oleh perasaan bimbang. Di satu sisi, ia suka kepada Kumbang Banaung, tapi di
sisi lain ia te di jodohkan oleh ayahnya dengan juragan rotan. Ia sebenarnya
tidak menerima juragan rotan, karena juragan rotan itu telah memiliki tiga
orang anak. Namun, karena watak ayahnya sangat keras, maka ia pun terpaksa
menerimanya.
“Ma... maafkan Aku, Bang!” jawab Intan gugup.
“Ada apa Intan? Katakanlah!” desak Kumbang Banaung.
Setelah beberapa kali didesak oleh Kumbang Banaung, akhirnya Intan
pun menceritakan keadaan yang sebenarnya. Intan juga mengakui bahwa ia juga
suka kepadanya, namun takut dimarahi oleh ayahnya. Mengetahui keadaan Intan
tersebut, Kumbang Banaung pun segera pulang ke rumahnya untuk menyampaikan
niatnya kepada kedua orangtuanya agar segera melamar Intan.
“Kita ini orang miskin, Anakku! Tidak pantas melamar anak orang
kaya,” ujar sang Ayah.
“Benar kata ayahmu, Nak! Lagi pula, tidak mungkin orang tua Intan
akan menerima lamaran kita,” sahut ibunya.
“Tidak, Ibu! Aku dan Intan saling mencintai. Dia harus menjadi
istriku,” ungkap Kumbang Banaung.
“Jangan, Anakku! Urungkanlah niatmu itu! Nanti kamu dapat
malapetaka. Mulai sekarang kamu tidak boleh menemui Intan lagi!” perintah
ayahnya.
Kumbang Banaung tetap tidak menghiraukan nasehat kedua orangtuanya.
Ia tetap bersikeras ingin menikahi Intan bagaimana pun caranya. Pada suatu
malam, suasana terang bulan, diam-diam ia pergi ke Desa Sanggu untuk menemui
Intan. Ia berniat mengajaknya kawin lari.
“Intan, bagaimana kalau kita kawin lari saja,” bujuk Kumbang
Banaung.
“Iya Bang, aku setuju! Aku tidak mau menikah dengan orang yang
sudah mempunyai anak,” kata Intan.
Setelah melihat keadaan di sekelilingnya aman, keduanya berjalan
mengendap-endap ingin meninggalkan desa itu. Namun baru beberapa langkah
berjalan, tiba-tiba beberapa orang warga yang sedang meronda melihat mereka.
“Hei, lihatlah! Bukankah itu Kumbang dan Intan,” kata salah seorang
warga.
“Iya, Benar! Sepertinya si Kumbang akan membawa lari si Intan,”
imbuh seorang warga lainnya.
Menyadari niatnya diketahui oleh warga, Kumbang dan Intan pun
segera berlari ke arah sungai.
“Ayo, kita kejar mereka!” seru seorang warga.
Kumbang Banaung dan Intan pun semakin mempercepat langkahnya untuk
menyelamatkan diri. Namun, ketika sampai di sungai, mereka tidak dapat
menyeberang.
“Bang, apa yang harus kita lakukan! Orang-orang desa pasti akan
menghukum kita,” kata Intan dengan nafas terengah-engah.
Dalam keadaan panik, Kumbang Banaung tiba-tiba teringat pada piring
malawen pemberian ayahnya. Ia pun segera mengambil piring pusaka itu dan
melemparkannya ke tepi sungai. Secara ajaib, piring itu tiba-tiba berubah menjadi
besar. Mereka pun menaiki piring itu untuk menyebrangi sungai. Mereka tertawa
gembira karena merasa selamat dari kejaran warga. Namun, ketika sampai di
tengah sungai, cuaca yang semula terang, tiba-tiba menjadi gelap gulita.
Beberapa saat berselang, hujan deras pun turun disertai hujan deras dan angin kencang.
Suara guntur bergemuruh dan kilat menyambar-nyambar. Gelombang air sungai pun
menghatam piring malawen yang mereka tumpangi hingga terbalik. Beberapa saat
kemudian, sungai itu pun menjelma menjadi danau. Oleh masyarakat setempat,
danau itu diberi nama Danau Malawen. Sementara Kumbang dan Intan menjelma
menjadi dua ekor buaya putih. Konon, sepasang buaya putih tersebut menjadi
penghuni abadi Danau Malawen.
Demikian cerita Asal Mula Danau Malawen dari daerah Kalimantan
Tengah, Indonesia. Cerita di atas tergolong legenda yang mengandung pesan-pesan
moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu
pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah akibat buruk dari sifat
keras kepala dan tidak mau mendengar nasehat orang tua. Sifat ini tercermin
pada perilaku Kumbang Banaung dan Intan yang tidak mau mendengar dan menuruti
nasehat kedua orangtua mereka. Akibatnya, Tuhan pun murka dan menghukum mereka
menjadi dua ekor buaya putih. Dalam kehidupan orang Melayu, sifat keras kepala
dan tidak mau mendengar nasehat merupakan sifat tercela. Dikatakan dalam tunjuk
ajar Melayu:
kalau
sifat keras kepala,
di
situlah tempat beroleh bala
kalau
bapa ibu engkau sanggah,
Tuhan
murka, orang pun menyunggah
Penulis : Aulia
Redaktur : Ari
Referensi :
https://dongengceritarakyat.blogspot.com/2011/04/asal-mula-danau-malawen.html
https://www.poskata.com/pena/asal-usul-danau-malawen/
https://histori.id/legenda-asal-mula-danau-melawen
KOMENTAR