![]() |
Najib ( SEMA I Periode 2019-2020) |
Saya menyatakan sikap abstain dan tidak berpartisipasi sebagai pemilih dalam pemilihan DEMA IAIN Palangka Raya Periode 2020/2021, yang artinya saya tidak memilih baik 01 maupun 02.
Sikap ini saya pilih karena sejak awal, pemilihan DEMA bagi saya bukanlah demokrasi sejati. Ianya hanyalah demokrasi tipu-tipu yang disediakan oleh kampus & negara supaya melenakan hati mahasiswa dari pada demokrasi yang sejati adanya, yaitu demokratiasi kampus.
Dan kedua paslon juga menikmati saja hal ini. Tidak ada niatan, baik dalam visi maupun pikiran, untuk mereformasi keadaan ini. Paslon yang ada sibuk memperjuangkan kepentingan sendiri melalui pelestarian status quo dari sistem politik masa lampau, supaya tidak terganggu pula kepentingan di belakangnya. Adakah kita perlu memilih mereka yang akan mengadakan seminar nasional, mengospek mahasiswa baru, dsb? Saya kira jelas setiap aspirasi mahasiswa sebenarnya sederhana, bila ada hal-hal yang menyulitkan mari berdiri bersama. Bila ada yang dizalimi dengan dikeluarkan secara sepihak tanpa ada sidang kode etik, tolong bersuara. Intinya adalah bagaimana mahasiswa punya daya tawar dalam menghadapi ketimpangan relasi kuasa dengan dosen. Tapi sejauh ini, DEMA sendiri berada dalam dilema ketimpangan relasi kuasa ini. Karena tupoksinya sendiri dikendalikan dosen.
Pemaknaan kita mahasiswa atas demokrasi didangkalkan yaitu hanya sebatas kesempatan memilih pemimpin secara coblos, dalam sistem elektoral yang ada. Sekarang saya tanya, apa gunanya punya hak pilih satu-dua orang paslon, jika kemudian aspirasi kita tidak turut mewarnai arah kebijakan kampus? Jika kemudian kode etik ditentukan tanpa persetujuan kita, dan tiba-tiba kita sudah duduk di kursi pesakitan?
Entah kenapa kita dibiasakan menaruh harapan pada satu-dua orang untuk merepresentasikan semua kepentingan mahasiswa yang majemuk dan beragam ini, seperti menaruh harapan pada juru selamat. Inilah pula akibat dari disfungsi lembaga perwakilan mahasiswa, yang semestinya menjadi representasi keberagaman pandangan itu hanya jadi alat penghias dalam tatanan kelola organisasi kita supaya masih bisa disebut demokrasi. Inilah demokrasi omong, demokrasi tipu-tipu, demokrasi yang hanya ada di atas kertas dengan adanya lembaga legislatif & eksekutif tapi mengalami disfungsi & bahkan lumpuh.
Realita demi realita yang saya gambarkan di atas, tidak heran jika kemudian mendorong saya kepada sikap menolak berpartisipasi & mencalonkan diri dalam "Pemilihan DEMA" yang hanya akan mempertahankan dan melestarikan status quo. Bagi saya, keikutsertaan dalam pemilihan seperti itu hanya akan berarti kerja mereproduksi kondisi ketertindasan mahasiswa saja. Karena itu pula saya memilih abstain dan tidak memilih. Bahasa lacurnya, golput.
Saya beranggapan bahwa perubahan menuju hal-hal dan sistem yang lebih demokratis harus dilakukan secara radikal revolusioner, yang tidak akan bisa dilakukan jika menjabat di DEMA. Dan memilih DEMA, siapapun yang menang, bagi saya hasilnya sama saja, karena kedua paslon tidak berwatak revolusioner yang hendak mengadakan perubahan melainkan mempertahankan yang ada-ada. Mengapa penegakkan demokrasi penting? Satu hal saya kira karena mahasiswa sering berteriak ke pemerintah untuk menegakkan demokrasi, tapi lacur dalam tata kelolanya sendiri kerap tidak demokratis.
Pada akhirnya memperjuangkan demokrasi untuk sebuah kampus dan bagi kaum mahasiswa, memang mudah dikatakan, tetapi sulit dilaksanakan (sendirian saja), bukan?
Kontributor tulisan: Najib
Rantau, 24 Desember 2020
KOMENTAR