![]() |
“Politik itu barang yang paling kotor. Lumpur-lumpur yang kotor. Tapi suatu saat dimana kita tidak dapat menghindar diri lagi, maka terjunlah.” sebuah ungkapan dari Soe Hok Gie yang kira-kira relevan untuk menjadi refleksi mahasiswa saat ini. Menjadi mahasiswa yang melek politik, bukan berarti lantas menjadikan kampus sebagai panggung untuk politik praktis. Sebab sekali lagi, “politik itu barang yang kotor”, dan kampus sebagai lembaga ilmiah, tidak selayaknya dikotori oleh kepentingan-kepentingan politik praktis.
Beberapa waktu yang lalu saya melihat berita-berita dari yang terhormat ketua DEMA IAIN Palangka Raya yang kerap kali memuji, mengapresiasi, dan mendukung Gubernur Kalimantan Tengah. opini merupakan bentuk kebebasan berekspresi seperti yang termaktub dalam UU NO 9 tahun 1998 pasal 1 ayat 1 yang menerangkan pengertian kemerdekaan mengemukaan pendapat dimuka umum adalah hak tiap-tiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Namun, ada hal yg membuat saya gusar sebagai mahasiswa IAIN yaitu membawa jabatan organisasi kemahasiswaan tertinggi IAIN Palangka Raya sebagai ketua DEMA. Ketua DEMA adalah representasi mahasiswa IAIN Palangka Raya, tentu ini menginjak marwah mahasiswa yg selama ini menjadi Agent of Control Social. Terlebih tahun politik pilkada seperti ini, dukungan individu adalah hak pribadi dan dijamin UU namun saya tidak bisa menerimanya ketika membawa nama DEMA. Dalam kacamata awam pun ketika membaca dan melihat narasi berita ini bisa diliat sebagai langkah politik praktis.
Kalteng masih banyak problematika yang tentu bisa menjadi sorotan untuk di evaluasi. DEMA harusnya peka terhadap permasalahan yang dikeluhkan warga, untuk ikut memikirkan keluhan para petani yang dipidana akibat pembakaran lahan di Kobar, anggaran pendidikan yang tidak sesuai amanah UU untuk menyisihkan 20% APBD, keringanan UKT mahasiswa, dan sebagai tanggung jawab pemprov atas pendidikan daerah tentunya mendukung IAIN menjadi UIN. Mereka sungguh mempunyai eksistensi yang cukup berpengaruh sebagai roda pergerakan rakyat.
Saya tertarik dengan statement dari wakil Bupati Sukabumi H. Adjo Sardjono, Pemkab Sukabumi tidak akan alergi terhadap semua kritikan dan masukan yang datang dari pemuda, mahasiswa atau masyarakat lainnya. Sebab tegas H. Adjo Sardjono, kritikan itu adalah penyemangat dan bahan evaluasi dalam menjalankan kepercayaan masyarakat. Sehingga ini bisa ditiru oleh pemprov Kalteng, agar mahasiswa tidak takut untuk mengkritik, dan mengevaluasi daerah.
DEMA bisa menjadi mitra kritis pemerintah daerah, seperti itulah sebuah kesadaran dan pemahaman publik dibangun, yakni dengan melibatkan diri kita ke dalam sistem yang ada. Begitulah sebuah perubahan (perbaikan) sosial diciptakan. Dan sebagai insan akademis, peran mahasiswa sebagai bagian dari pemuda sangatlah signifikan untuk menciptakan perbaikan-perbaikan tersebut. Mendukung tidak harus menjilat, dengan mengawasi dan turut mengevaluasi juga bentuk dukungan dalam memajukan daerah.
Menyikapi kalteng mungkin terlalu besar dan berat, dalam lingkup kampus terkait isu-isu UKT yang beberapa waktu lalu sempat ada surat edaran dari kemenag ada pengurangan 10%, namun tidak jadi direalisasikan. Sangat disayangkan sikap DEMA IAIN Palangka Raya adem ayem disaat DEMA PTKIN lainnya kompak untuk memyatakan sikap menekan KEMENAG merealisasikan keringan UKT mahasiswa. Malah dengan bangganya membuat video terima kasih dengan sumbangan Gubernur, apakah tidak cukup hanya dengan ucapan saja?
Lebih baik tidak usah tangan terkepal lalu dengan lantang bersuara "Hidup Mahasiswa" kalau tidak tau maknanya apa.
“Janganlah sekali-kali meninggalkan sejarah!” Ujar Sang proklamator Indonesia Bung Karno. Sebab Sejarah Indonesia sendiri telah membuktikan bahwa jejak mahasiswa mempunyai peran politis dan nilai historis yang tidak main-main. Belajarlah dari generasi Angkatan ’45, Angkatan ’66, hingga para reformis Angkatan ’98. (kontributor opini Andi)
KOMENTAR