IAIN Palangka Raya - Kampus adalah tempat dimana hadir keberadaan kaum intelektual yaitu mahasiswa yang dikenal sebagai masyarakat ilmiah. Kampus sebagai lembaga pendidikan harus terbebas dari aktivitas politik praktis sesuai dengan ketentuan yang ada. Hal ini telah disampaikan oleh Mohamad Nasir, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.
Mengenai adanya tudingan praktik praktik politik praktis di lingkungan kampus IAIN Palangka Raya terhadap salah satu ormawa, pihak SEMA pun mengeluarkan pamphlet yang berisikan tentang teguran keras bagi pelanggar GBHO Pasal 57, 58, dan 59 pada tanggal 16 Mei 2020 kemarin.
Pelarangan politik praktis telah ditetapkan dalam undang-undang pendidikan UU No. 12 Tahun 2012 pasal 8 Tentang Pendidikan Tinggi dan Keputusan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi No. 26/DIKTI/KEP/2002 Tentang Pelarangan Partai Politik Dalam Lingkungan Kampus. Berdasarkan peraturan perundang-undangan tersebut jelas menegaskan bahwa kampus harus bebas dari agenda politik (bukan berarti anti politik atau buta politik) demi menjaga independensi, marwah keilmuan, integritas dan moral mahasiswa di tingkat Perguruan Tinggi.
Kemudian telah dimuat pula dalam Garis Besar Haluan Organisasi (GBHO) Insitut Agama Islam Negeri Palangka Raya. Berdasarkan kesepakatan bersama diMusyawah Besar Mahaiswa (MUBESMA) setiap tahunya, terdapat pada BAB XXI tentang partai politik pasal 26, 57, dan 58.
Kemudian telah dimuat pula dalam Garis Besar Haluan Organisasi (GBHO) Insitut Agama Islam Negeri Palangka Raya. Berdasarkan kesepakatan bersama diMusyawah Besar Mahaiswa (MUBESMA) setiap tahunya, terdapat pada BAB XXI tentang partai politik pasal 26, 57, dan 58.
Lalu apa saja kriteria sebuah ormawa dikatakan melakukan politik praktis dengan politisi? Adakah sanksi bagi pihak yang melanggar kententuan tersebut? Bersama ini tim LPM Al-Mumtaz mewawancarai Dody, Ketua SEMA I
![]() |
Ketua Sema I Dody Faizall |
Ia mengatakan sebuah ormawa dapat dikatakan melakukan politik praktis apabila organisasi tersebut telah menyebarkan yang berisikan muatan dan pencitraan politik. Hal ini dapat mengakibatkan ormawa tersebut akan mendapatkan tudingan-tudingan dari pihak kampus. Menurut Dody apabila ingin mengucapkan terima kasih hendaknya dilakukan secara individu saja, tidak harus membawa nama organisasi.
“Apabila telah ormawa telah terlibat politik praktis maka bisa dipastikan ormawa tersebut akan mendapatkan sanksi. Adapun sanksi-sanksi yang dikeluarkan mulai dari yang ringan, sedang, hingga berat, tergantung dari tingkat kesalahan dan keputusan sidang. Sanksi yang terfatal berupa pembekuan ormawa bahkan kemungkinan ormawa tersebut dicabut. Jika sudah mulai tercium bau-bau praktik politik praktis dalam ormawa maka pihak SEMA I akan langsung mengusut perkara sebelum menjadi permasalahan yang besar” ungkapnya melalui pesan singkat selasa 19 Mei 2020.
Terakhir Dody menambahkan untuk menyikapi praktik politik praktis, maka sebaiknya ormawa menghindari atau tidak ikut campur tangan dalam urusan perpolitikan di Indonesia.
“Karena sejatinya kita sebagai mahasiswa merupakan penyambung lidah rakyat, yang mana bagaimana kita siap mengawal berlangsungnya politik yang sehat demi kemajuan negeri kita. Kita sebagai mahasiswa harus bisa menjaga moral seorang mahasiswa, jangan sampai harga diri mahasiswa dapat dibeli oleh materi” Tutupnya. (wh/dn)
KOMENTAR