Oleh : Alfred
(Mahasiswa Fak. Ushuluddin, Jur. Aqidah Filsafat, IAIN IB Padang)
(Mahasiswa Fak. Ushuluddin, Jur. Aqidah Filsafat, IAIN IB Padang)
Sebenarnya wacana mengenai pendidikan profetik ini sudah lama berkembang, baik dari kalangan akademisi maupun non-akademisi. Juga telah banyak tulisan-tulisan yang membahas mengenai pendidikan profetik. Meminjam istilah Kuntowijoyo, kata profetik berasal dari bahasa inggris prophetical yang maknanya yaitu kenabian atau sifat yang ada dalam diri seorang nabi. Nabi yang mempunyai ciri sebagai manusia yang ideal secara spiritual-individual, tetapi juga menjadi pelopor dari suatu perubahan, membimbing masyarakat menuju ke arah perbaikan dan melakukan perjuangan tanpa henti melawan penindasan.
Wacana pendidikan profetik ini muncul dilatarbelakangi keprihatinan dari berbagai pihak melihat kondisi pendidikan Indonesia yang makin lama makin kehilangan identitas. Hal ini merupakan bentuk respon dimana output pendidikan Indonesia dinilai belum cukup mampu memberikan kontribusi berarti bagi Negara yang mayoritas muslim ini. Apalagi pendidikan Indonesia yang lebih condong memihak kepada kapitalisme sangat tidak sesuai dengan misi islam dengan cita-cita profetiknya yang egaliter (keberpihakan kepada kaum yang tertindas).
Dalam praktek pendidikan mestinya selalu memperhatikan hakikat manusia sebagai makhluk Tuhan dengan fitrah, sebagai makhluk individu yang khas, dan sebagai mahluk sosial yang hidup dalam realitas sosial yang majemuk. Untuk itu, pemahaman yang utuh tentang karakter manusia wajib dilakukan sebelum proses pendidikan dilaksanakan. Namun demikian, dalam realitasnya banyak praktek pendidikan yang tidak sesuai dengan missi tersebut.(Buya Syafi’i Ma’arif)
Sering kita temukan bahwa proses pendidikan yang ada cenderung berjalan monoton, indoktrinatif, teacher-centered(Taklid dengan perkataan guru), top-down, mekanis, verbalis, kognitif dan misi pendidikan telah misleading. Tidak heran jika ada kesan bahwa praktek dan proses pendidikan Islam hilang dari konteks realitas, sehingga tidak mampu memberikan kontribusi yang jelas terhadap berbagai problem yang muncul. Tujuan dari pendidikan sudah berubah kearah hal yang bersifat proyektif(pragmatis) dan mudah untuk dimanipulasi. Banyak contoh yang bisa kita lihat dilapangan ketika mendidikpun dimaksud untuk kepentingan pragmatisme maka akan menghasilkan didikan-didikan(out put) yang pragmatis juga bahkan menjurus kepada pragmatisme ektrem. Jadi pendidikan bukan lagi untuk mencerdaskan dan menyelamatkan kehidupan bangsa tapi pendidikan berubah tujuan menjadi kerja, kerja yang hanya terfokus untuk diri sendiri, kerja yang putus kontak dengan realitasnya.
Tentu ini menghilangkan ruh semangat keislaman yaitu semangat kemanusiaan yang memanusiakan manusia itu sendiri, semangat pembebasan dari berbagai bentuk penindasan dan dari lingkaran kebodohan, serta dimensi keimanan manusia. sesuai dengan Surat Ali-Imran ayat 110 yang artinya: “Engkau adalah umat terbaik yang diturunkan/dilahirkan di tengah-tengah manusia untuk menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah kemunkaran dan beriman kepada Allah”.
Surat ali-imran ayat 110 tersebut mengingatkan akan tujuan dan tugas suci kita didunia untuk menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah kemunkaran serta beriman kepada Allah.
Singkatnya, pendidikan profetik dimaksudkan agar output yang diharapkan dapat menetaskan bibit-bibit generasi muda Islam yang paham akan tujuan serta jati dirinya sebagai muslim. Generasi yang tak hanya mempelajari agama, alam, akhlak dan Moral yang baik tapi juga generasi yang tidak kehilangan kontak dengan realitas sekitarnya.
Dengan begitu, ia pun sadar bahwa islam yang ia pilih merupakan sebuah karunia dan petunjuk serta solusi dari permasalahan sosial yang kerap akan ia hadapi di lapangan.
KOMENTAR